Banten - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut tsunami Selat Sunda disebabkan longsoran bawah laut dari Gunung Anak Krakatau. Tsunami merambat ke pantai 24 menit setelah longsor terjadi.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, setelah melakukan analisis dengan lembaga terkait dari citra satelit, pihaknya mencatat ada getaran atau tremor setara dengan magnitudo 3,4 SR di bawah laut pada Sabtu (22/12) pukul 21.03 WIB. Hal itu lantas dijelaskannya menyebabkan kepundan Gunung Anak Krakatau runtuh dan terjadi longsor bawah laut.
"Pada saat press conference Kepala Badan Geologi bersama kami juga sudah mengkonfirmasikan bahwa pukul 21.03 WIB erupsi itu terjadi dan ternyata memang dari data yang kami peroleh berikutnya, di situ tercatat ada tremor yang khas mengindikasi bahwa tremor itu adalah gempa vulkanik," ujar Dwikorita di kantor BMKG, Jl Angkasa, Jakarta Pusat, Senin (24/12/201).
"Kemudian ada data tambahan yang kami peroleh, gempa vulkanik tadi ternyata yang memicu terjadinya kolaps atau longsor bawah laut. Longsoran bawah laut ini dianalisis setara dengan kekuatan guncangan dengan magnitudo 3,4 dan episenternya ada di anak Gunung Krakatau," imbuhnya.
Lalu, di saat yang bersamaan, pada pukul 21.27 WIB, tsunami menerjang pantai terdekat di sekitar Gunung Anak Krakatau. Dwikorita menambahkan tsunami tersebut akibat longsoran bawah laut yang menyebabkan gelombang tinggi dan mengarah ke pantai dalam waktu 24 menit.
"Fenomena pada saat waktu yang bersamaan pada tanggal 22 Desember 2018 setelah pukul 21.03 WIB kami pantau ada tsunami pukul 21.27 WIB, berarti 24 menit kemudian terpantau dengan ketinggian saat itu 0,9 meter air menerjang ke pantainya dekat di wilayah Banten, Serang, dan Lampung," katanya.
Hal itu diperkuat oleh pantauan satelit yang mencatat runtuhan kepundan yang terjadi mencapai 64 hektare. Kemudian juga terkonfirmasi oleh data di tidegauge milik Badan Informasi Geospasial (BIG).
"Jadi ini menguatkan bahwa guncangan inilah atau guncangan vulkanik sebagai dampak dari erupsi tadi yang memicu kolaps lereng kepundan dan kolaps ini dihitung dari citra satelit mencapai 64 hektar dan volume batuan dari kolaps ini yang kemudian dalam waktu 24 menit menjadi tsunami di pantai dan kejadian itu terkonfirmasi dengan data tidegaude milik Badan Informasi Geospasial (BIG) yang dipantau oleh BMKG. Jadi BMKG dapat akses, dapat data dari BIG, sehingga kami bisa memantau, terkonfirmasi itu tsunami," ujar Dwikorita.
Dwikorita mengatakan, seandainya pihaknya mengetahui lebih dulu, waktu 24 menit itu merupakan golden time untuk masyarakat mengevakuasi diri dari lokasi. Sayangnya, data itu baru terkonfirmasi setelah peristiwa terjadi.
Hal ini karena sistem informasi terkait kegunungapian tidak masuk sistem BMKG. Untuk itu, ke depan, pihaknya akan memasang tidegauge di tiga pulau sekitar Gunung Anak Krakatau. Lalu diupayakan untuk menyambungkan sistem BIG, terutama soal kegunugnapian untuk meningkatkan sistem peringatan dini.
"Seandainya itu ada tidegauge itu bisa diketahui karena datanya bisa dipantau. Itu masih ada waktu 20-24 menit yang diperlukan air itu merambat sampai ke pantai terdekat. Sehingga cukup waktu untuk melakukan evakuasi. Itu yang akan kami lakukan supaya tidegauge dipasang di sana," tuturnya.
0 Komentar