Mengamati aktivitas lalu lintas sosial media akhir – akhir ini yang selaras dengan isu – isu tertentu, banyak netizen atau warga net yang mendadak menjadi ahli atau pengamat yang hanya didasari dari pemberitaan media yang legalitasnya tidak bisa dipercaya, yang tidak bersumber dari media yang terdaftar di dewan pers apalagi dari literasi karya ilmiah. Hal ini tentunya sangat menggelitik dan seolah melacurkan dan memperkosa kaidah jurnalistik yang menjunjung tinggi etika dalam menyampaikan fakta yang kongkrit dan aktual. Dengan yakin dan bangganya mereka memposting argument sebatas pengetahuan mereka seakan mereka lebih tau dari kejadian yang sebenarnya, namun ketika diminta sumber dan data representatif dari pelaku isu, mereka menghilang seakan kehabisan kuota internet.
Salah satunya yang baru – baru ini kembali hangat adalah masalah perpanjangan kontrak karya Freeport. Banyak dari pengamat dadakan ini selalu menyampaikan pernyataan lewat kotak – kotak postingan di berbagai grup maupun di status komentar, yang intinya ini merupakan kegagalan pemerintah Jokowi dalam mengatasi kesewenangan Freeport dalam mengeksploitasi tambang di tanah papua. Apa benar begitu? Yuk, kita memutar waktu ke tahun 1967 dimasanya Bapak yang ngetren dengan kalimat “masih penak jamanku to?” tau kan? Tau lah pasti, ga tau? Googling aja, ga tau googling? keluar dulu dari dalem tanah, cari warnet tanya sama operatornya apa itu googling. Pada masa itu tepatnya tanggal 7 April 1967 dimulailah kerjasama kontrak karya Freeport 1 yang ditanda tangani oleh Presiden Soeharto dan Freeport Indonesia Incorporated. Kontrak tersebut diperpanjang dengan kontrak karya atau contract of work yang ditandatangani tanggal 30 Desember 1991 dengan PT Freeport Indonesia yang merupakan penerus dari Freeport Indonesia Incorporated sebagai kontraktor. Selama kerjasama itu berjalan, Indonesia hanya kebagian saham 9,36 % dan royalti 1 %. Bisa kebayang kan gimana dulu Indonesia yang masih anak bawang yang baru ngerti cara main kerjasama internasional, dengan polosnya nerima – nerima aja bagian saham yang kecil begitu. Ini karena memang selain faktor Indonesia yang masih baru merdeka, kendala dalam perundingan Freeport dengan Pemerintah Indonesia adalah belum adanya bentuk kontrak pertambangan yang sudah baku. Mula-mula, pihak Departemen Pertambangan menawarkan suatu bentuk kontrak pertambangan mirip dengan Kontrak Bagi Hasil yang telah berlaku untuk usaha perminyakan asing. Kontrak ini ternyata tidak sesuai dengan operasi pertambangan mineral yang memerlukan dana investasi yang jauh lebih besar dengan masa pengembalian modal yang lebih panjang daripada usaha perminyakan. Sampe sini udah paham son? Kenapa Indonesia sekian tahun manut – manut wae di mainin Freeport?
0 Komentar